Mgr. J. Lijnen, Pr dari Semarang dalam pembicaraan dengan Mgr. Vraken Van Colophon dari Batavia, pergi ke negeri Belanda (dalam rangka cuti) menjumpai pemimpin kongregasi suster-suster dari Heythuysen, provinsi Linburg.
Pemimpin Jenderal pada saat itu adalah Moeder Aloysia Lenders, menolak permohonan tersebut. Kemudian P. Lijmen mohon perantaraan uskup Roermond, Mgr. J. A. Paredis untuk mohon tenaga untuk Panti Asuhan di Semarang.
Atas keinginan wali gereja itu akhirnya pemimpin Jenderal OSF bersama asistennya mengabulkan permohonan tersebut. Persiapan pun dimulai. Pendaftaran sukarela untuk pergi ke daerah misi pun diadakan. Kemudian pada tanggal 19 Maret 1869 diumumkan nama 10 suster yang terpilih dari 200 suster yang mendaftar.
Sepuluh Suster tersebut adalah Sr. Alphonsa Houben berperan sebagai pimpinan utusan, Sr. Marina Deideren, Sr. Aurelia van de Pas, Sr. Lucie Porten, Sr. Yosepha Wisink, Sr. Plechelma Scholten, Sr. Odilia Ten Pol, Sr. Antonine Reuner, Sr. Nicoline Yacobe dan Sr. Suzana Broam. Dalam sejarah tercatat ada tambahan 1 Suster yang sebenarnya akan menggantikan Sr. Suzana Broam karena menderita sakit radang paru-paru yaitu Sr. Cunigonde Iding. Karena Sr. Suzana sudah sehat kembali, akhirnya 11 Suster yang diutus ke tanah misi Hindia-Belanda.
Satu bulan sebelum berangkat mereka berkumpul di Heythuysen untuk mempersiapkan diri untuk tugas kongregasi yang penting ini. Diadakan retret 10 hari dipimpin oleh P. Marsboom. Pada tanggal 4 September 1869, mereka ke kapel menghadap sakramen Mahasuci, setelah itu pamitan dengan para suster. Kemudian mereka bersama Moeder Aloysia Lenders (Jenderal), Sr. Calestine (pemimpin biara induk Heythuysen), Sr. Stannislas (asisten Jenderal) ke Roermond. Di Roermond, pamitan dengan Mgr. J. A. Paredis, lalu kurang lebih pukul 13.00 berangkat dengan kereta api ke Rotterdam. Di Rotterdam mereka menginap di rumah Nona A.
Pada tanggal 5 September 1869, pada pesta Malaikat Pelindung, Mgr. Lijnen mempersembahkan misa meriah bersama P. Peters SJ. dan P. H Dijckmans, SJ. dengan ujud untuk Misi di Hindia Belanda. Setelah itu para misionaris diantar ke pelabuhan dengan beberapa kereta. Mereka menumpang kapal “Jacoba Cornelia” dengan kapten Jansen.
Kira-kira pukul 13.00 kapal Jacoba Cornelia berangkat diiringi sorak-sorai masyarakat sebagai ucapan syukur dan selamat jalan. Sore hari, tiba di pintu air Hellevoet. Karena cuaca buruk, mereka harus menunggu beberapa hari untuk meneruskan pelayaran.
Tanggal 9 September diputuskan untuk meneruskan pelayaran walaupun keadaan cuaca tidak menyenangkan. Sore, 11 September terjadi badai besar, bahaya besar karena pantai masih agak jauh. Kapten sudah kirim berita kepada istri dan perusahaan bahwa dalam 10 menit semuanya akan karam. Mereka berdoa mohon pertolongan Tuhan dibebaskan dari saat yang berbahaya ini. Jurumudi 1 memasang patung kecil Santo Yusup yang diberikan Moeder Alphonsa padanya. pada puncak tiang kapal itu. Pertolongan segera datang. Pada saat itu, kami menangis dan Pater mengangkat lagu “Te Deum” bersyukur pada Tuhan. Syukur kepada Allah, kami tertolong. Pantai Inggris tampak telah dekat. Pada saat yang tidak berpengharapan ini, perlindungan Bunda Maria sungguh dirasakan, tidak mengecewakan, dan juga St. Yusup.
Menurut kesaksian kapten, seorang Protestan yang besar kepercayaannya, menulis bahwa kapal Jacoba tidak apa-apa ketika lewat Ridge yang amat berbahaya itu, sedangkan menurut cerita, saat itu ada 150 kapal kecil dimangsa ombak. Bahaya belum surut, laut masih terlihat ngamuk, tapi akhirnya tanggal 13 September siang kira-kira pukul 15.00. kapten membuang sauh dipelabuhan Dover masuk ke Ramsgate. Pagi hari berikutnya Misa Suci dipersembahkan untuk bersyukur, setelah itu mereka mengirim telegram ke Negeri Belanda untuk memberi kabar terlepasnya mereka dari bahaya itu.
Tuhan Mahabaik, di Ramsgate para suster mengalami hal-hal baru yang menyenangkan 1/30 penduduknya beragama katholik, merupakan suatu keanehan yang jarang terjadi. Beberapa hari setelah kedatangan kami, kami mengetahui dari penduduk bahwa di kota laut ini ada biara para pastur Benediktan.
Pagi hari berikutnya Pater Veremundus naik sampan, berkunjung dan mengundang kami untuk hari berikutnya mengikuti “pujian” di gereja mereka, dengan menyanyikan “Te Deum” untuk bersyukur atas keselamatan kami. Beliau juga mengatakan bahwa di Ramsgate ini juga ada biara suster Benekdiktan. Setelah Moeder Abdis mengetahui ada para penumpang Religius dengan segera memberitahukan kepada Mgr. Manning di London dan mohon agar tarekatnya yang keras itu boleh menerima para suster asing. Dengan senang hati Mgr. Manning mengabulkan permohonan tersebut. Sekalian memberikan berkah kegembalaannya kepada tamu-tamu asing itu. Beberapa hari kemudian Pastur Varemudus datang lagi, menjemput dan menerima suster-suster di biara Benedikten dengan senang hati .
Pemimpin biara menyerahkan biara yang kecil itu untuk menginap suster tapi Moeder Alphonsa tidak dapat menerimanya karena tempat tidak mengijinkan hanya cukup untuk suster-suster itu sendiri. Namun pergi ke biara suster-suster yang baik itu sudah merupakan istirahat sebentar bagi para penumpang Jacoba Cornelia sebab dalam kapal hanya berjumpa dengan orang-orang itu juga.
Umat katholik disana juga menawarkan kepada kaum Religions asing setiap malam 2 orang, di wisma Pangeran de Riverola yang bertobat memeluk agama Katolik. Tetapi para suster memilih bersama-sama tinggal di kapal, sedangkan 4 Suster Ursulin pergi ke biara mereka di Apton Dekat London.
Selama 6 minggu kami berada di Ramsgate. Kami menerima kunjungan pemimpin komunitas suster suster Fransiskus yang suci dari London, yang dulu merupakan persekutuan para diakonis Anglikan. Belum lama pemimpin itu dengan 18 susternya kembali kepangkuan gereja suci lalu mereka masuk dan bersatu dalam Persekutuan Bapak Sirafikus.
Pada waktu ada di Ramsgate, Suster Suzanna jatuh sakit dan Heythuysen diberi kabar bahwa ia tidak dapat meneruskan pelayaran. “Jakoba Cornelia” akan berangkat dalam minggu ini. Tanpa membuang waktu, Moeder Aloysia tiba di Ramsgate tanggal 6 Oktober bersama Sr. Cunigonde Iding untuk menggantikan Sr. Suzanna. Sementara itu diluar dugaan, keadaan Sr. Suzanna membaik dan tidak sedia pulang, akhirnya kedua suster itu Sr. Suzanna dan Sr. Cunigonde meneruskan perjalanan ke Semarang.
Pada tanggal 22 Oktober, ahkirnya kapal Jakoba selesai diperbaiki dan siang hari sudah bisa meninggalkan pelabuhan Ramsgate. Perjalanan selanjutnya dapat dikatakan lancar hanya kena gangguan ombak yang besar beberapa hari di “Tanjung Harapan” (kaap de goede Hoop)
Pagi-pagi tangggal 21 Januari 1870 para matros berteriak bahwa “Jakoba Cornelia” sudah sampai di Pulau Sumatra dan terus berlayar melalui Selat Sunda.
Tanggal 22 Januari 1870, kurang lebih pukul 4 pagi orang menurunkan sauh pelan-pelan supaya tidak mengganggu misa suci dan komuni suci terahkir di atas kapal. Para penumpang bersiap mengumpulkan barang bawaan sebelum turun dari kapal. Kira-kira pukul 11.00 masuk pelabuhan Batavia, segera kepala pelabuhan memberikan kapal-kapal kecil kepada kapten kapal untuk membawa para penumpang turun ke darat. 14 sampan dengan pendayung bumi putra segera dinaiki oleh Pater, Suster dan istri kapten. Di pantai Pater Van Moorsel menjumpai mereka dan mengucapkan selamat datang.
Mgr. Claessens menyalami mereka di kapal lalu mengantar mereka ke setasiun trem yang membawa mereka ke biara suster-suster UsulinWeltevreden (Jatinegara). Moeder Ursule pemimpin suster di Noordwijk (Jakarta Utara) dan beberapa suster dari Weltevreden (Jatinegara) menerima mereka dengan ramah dan murah hati.
Kami ke kapel untuk bersyukur kemudian Moeder Alphonsa dan 5 suster ikut Moeder Ursule ke Noordwijk untuk menginap di sana. Sedangkan Sr. Suzanna dan suster yang lain menginap di Weltevreden. Segera Mgr. Lijnen diberitahu bahwa kami telah tiba di Batavia dan ia segera mengucapkan selamat datang. Kalau memungkinkan ia akan menjemput kami di Batavia.
Pada tanggal 3 Februari Mgr. Claessens bersama para suster naik kapal dan juga P. Dijckmans yang akan ke Larantuka. Sedangkan suster Marina menemani suster Susana yang sakit agak serius lagi tetap tinggal di Batavia.
Pada tanggal 5 Februari, kira-kira pukul 13.00 kapal menurunkan sauh di pelabuhan Semarang. Tuan Koloppenburg, kepala peralatan sampan membawa sampan besar untuk mengangkut Monseigneur dan para suster ke darat.
Dari pelabuhan mereka menuju Gedangan. Dekat Gedangan parit yang baru saja diperbaiki oleh Tuan Karthuis ternyata tidak bisa dilewati kereta, karena rusak terkena hujan deras dan ditutupi lumpur. Syukurlah mandor masalah air datang dan menawarkan lori yang diubah menjadi pengangkut barang kepada Monseigneur dan yang mulia dengan senang hati menerimanya. Akhirnya bisa menjadi alat perlengkapan untuk dihubungkan lagi dengan rel kereta, lalu kereta dapat jalan lagi, turun dekat Gedangan. Demikianlah perjalanan yang panjang (+ 3 bulan) dari Heythuysen (Belanda) tiba di Semarang dengan selamat.
Gedangan adalah saksi utama kedatangan awal pengabdian dan pengembangan hidup serta karya suster-suster St. Fransiskus dari Tobat dan Cinta Kasih dan Kristiani. Gedangan menjadi pusat segala kegiatan jasmani dan rohani para Suster sebelum memulai karya baru mereka di berbagai tempat di seluruh pelosok Indonesia. Gedangan-lah saksi sejarah Para suster OSF Semarang Provinsi Indonesia. Maka pantaslah Gedangan mendapat julukan Biara Induk karena telah mampu melahirkan, memelihara, dan menyaksikan perjalanan panjang putri-putri Ibu Magdalena Daemen sejak tanggal 5 Februari 1870 sampai sekarang.
Demikianlah perjalanan yang panjang (+ 3 bulan) dari Heythuysen (Belanda) tiba di Semarang dengan selamat.
Deo Gratias!